Penciptaan Musik Kontemporer Menurut Dua Komposer Muda – Seorang komponis muda yang berbasis di Yogyakarta, Aldy Maulana, membeberkan prosesnya dalam membuat sebuah karya komposisi. Baginya, di era modern ini komposer memiliki tantangan tersendiri, khususnya dalam menciptakan karya musik kontemporer.
Aldy memaknai, karya musik kontemporer adalah soal relevansi sebuah karya dengan kehidupan senimannya. Itulah yang menurutnya menjadi tantangan utama para seniman saat ini dalam menciptakan karya musik kontemporer atau kekinian. slot indonesia
“Tantangannya berarti mengolah pengalaman menjadi musik. Itu sih perspektif saya tentang kekinian,” kata Aldy ketika mengisi materi dalam diskusi yang digelar oleh October Meeting, Rabu (23/10) di Tembi Rumah Budaya, Bantul, Yogyakarta. www.mrchensjackson.com
Dengan perspektif itu, karya seorang komponis semestinya tidak harus selalu menggunakan alat musik sebagai instrumennya. Semua hal yang dialami oleh komponis menurut Aldy bisa ditransformasikan menjadi karya.
“Mungkin saja saya ternyata bikin karya itu enggak harus
pakai instrumen musik. Mungkin saja bisa pakai pohon, pakai batu, pakai apapun.
Itu kan sesuai dengan pengalamannya dia,” kata komposer yang juga seorang
pendiri Ensamble The New Yogyakarta Contemporary Music Ensemble (TNYCME) itu.
Terlepas dari perspektifnya soal karya kontemporer atau kekinian itu, menurut Aldy masih terbuka lebar ruang diskusi soal kebaruan itu sendiri. Bahkan, menurut Aldy yang terpenting bukanlah soal kebaruan semata, melainkan bagaimana dia memposisikan dirinya sendiri terhadap lingkungannya hingga dia merespons hal tersebut.
“Jadi sebenarnya saya nggak terlalu memikirkan, kira-kira
saya mau mencari yang baru apa ya? Tapi di sini saya lebih berpikir, kalau saya
di sini saya akan menghasilkan musik yang begini. Mau itu baru, atau lama, atau
apapun,” katanya.
Cara Aldy Membuat Karya Kontemporer
Prosedur menjadi hal penting bagi Aldy dalam melahirkan sebuah karya. Dalam hidup, seseorang tidak akan lepas dari yang namanya prosedur. Begitu juga bagi seorang komposer, dalam membuat sebuah komposisi menurutnya juga tidak lepas dari prosedur.
Analogi sederhananya, ketika seseorang akan berangkat ke
tempat kerja, mau tidak mau dia juga harus melewati sebuah prosedur. Dari mulai
bangun tidur, mandi, gosok gigi, mengenakan pakaian, sarapan, sampai
perjalanannya dia ke tempat kerja, itu adalah sebuah prosedur.
“Itu menurut saya juga berelasi dalam membuat karya,” kata
Aldy.
Prosedur ini menurutnya bukan berarti untuk membatasi dalam
berkarya, melainkan untuk menjadi sebuah dialog agar muncul ide-ide atau
gagasan-gagasan baru.
Landasan Penciptaan Karya
Untuk membuat sebuah prosedur, Aldy menggunakan tiga landasan. Pertama, gaya hidup masyarakat urban. Landasan ini ada karena Aldy hidup dan besar di tengah masyarakat urban, sehingga itulah yang melekat pada dirinya sebagai sebuah pengalaman individu.
Awalnya Aldy juga mengaku kesulitan untuk menemukan landasan
ini. Pencariannya atas apa yang paling dekat dengannya cukup panjang, hingga
dia menyadari bahwa dia hidup di tengah masyarakat urban dengan gaya hidup yang
hedon.
Landasan kedua yang dia pakai untuk menyusun sebuah prosedur
adalah montase. Montase sebenarnya sebuah teknik dalam seni rupa yang dia
adopsi dalam membuat karya musik.
“Montase itu mengambil suatu material di satu medium yang
sama. Misalnya saya di musik, berarti kan medium saya bunyi,” katanya.
Lawan montase adalah kolase. Jika montase mengambil dari medium yang sama, kolase menggabungkan berbagai macam medium. Misalnya ada medium visual, musik, dan video yang kemudian dijadikan satu karya.
Landasan terakhir yang dipakai Aldy dalam membuat sebuah
prosedur adalah plouderphonik. Plouderphonik adalah teknik menggabungkan banyak
karya menjadi satu karya baru. Jumlah karya yang digabungkan ini juga tidak
terbatas.
“Bahkan saya menggabungkan 50 karya untuk menjadi satu karya
baru seperti yang saya tampilkan tadi,” kata Aldy.
Namun terlepas dari semua itu, Aldy memiliki pandangan
sendiri soal musik kontemporer atau kekinian. Menurutnya, saat ini
pertanyaan-pertanyaan soal kebaruan sudah tidak relevan. Baginya, hal yang baru
adalah pengungkapan pengalaman-pengalaman individu-individu para komponis soal
apa yang dia rasakan dan apa yang ingin dia ungkapkan; dari sanalah akan lahir
sebuah interaksi atau dialog. Dari interaksi ini kemudian akan terlihat, apakah
suatu karya relevan atau mewakili apa yang dia alami.
“Bagi saya pengalaman pribadi akan menjadi
interaksi-interaksi yang harus kita bincangkan, apakah kira-kira
pemikiran-pemikirannya itu mewakili zamannya atau tidak,” kata Aldy.
Alunan musik mengalun dengan tempo lambat siang itu.
Lama-kelamaan, suara yang menyerupai tabuhan gamelan itu berbunyi dengan tempo
yang semakin cepat. Suara itu tidak berasal dari panggung pertunjukan gamelan
Yogya-Solo atau pertunjukan wayang kulit. Suara itu berasal dari dalam gua yang
masih aktif di daerah Pacitan, Jawa Timur.
Namanya gua Tabuhan, berada di Desa Wereng, Kecamatan
Punung, sekitar 20 kilometer di sebelah barat pusat kota Pacitan. Dari perut
gua itulah suara-suara yang menyerupai gending-gending gamelan itu berasal.
Tapi di dalam Gua Tabuhan ternyata tak ada gamelan sama sekali. Hanya ada
beberapa orang yang tengah menabuh stalaktit dan stalakmit secara bergantian
hingga menghasilkan irama laiknya gending Jawa.
Beberapa stalaktik masih meneteskan air, tanda gua itu
merupakan gua aktif. Semburat cahaya juga menyelusup lewat mulut gua,
memberikan sedikit penerangan di dalam gua.
Suasana magis di dalam gua itu diceritakan oleh Ignatia
Nilu, seorang kurator independent, komposer, dan produser budaya, ketika dia
melakukan riset untuk mengadakan pertunjukan musiknya di Gua Tabuhan.
“Target Juli tahun depan. Kan pas juga, sudah nggak hujan,
nggak terlalu panas juga,” kata Nilu ketika ditanya kapan pertunjukannya di gua
Tabuhan akan digelar, setelah mengisi diskusi dalam October Meeting, di Tembi
Rumah Budaya, Bantul, DIY, Rabu (23/10).
Tabuhan Project
Dalam proyek yang dinamai Tabuhan Project itu, Nilu tidak
sendiri. Dia berkolaborasi dengan dua rekannya, Elisabeth Schimana, seorang
komponis Austria dan Misbach Daeng Bilok, seorang pegiat seni musik yang sudah
lama bergelut dengan instrumen musik bambu. Sudah sejak akhir tahun lalu Nilu
menyiapkan proyek ini, sekarang, persiapannya sudah mencapai 40 persen.
Sebelumnya, Nilu sempat mencari gua-gua di daerah
Gunungkidul yang cocok untuk proyeknya itu. Sayangnya, gua-gua di Gunungkidul
ternyata tidak ada yang sesuai dengan apa yang ia butuhkan. Kebanyakan,
karateristik gua di Gunungkidul adalah gua vertikal yang sulit diakses. Hal itu
tentu akan sangat menyulitkan proses persiapan maupun pelaksanaan
pertunjukannya. Audiens kan nanti susah juga ya,” kata Nilu.
Di Gunungkidul nihil, Nilu dan timnya geser ke tempat lain
di Solo. Namun di Solo ternyata juga tidak ada gua yang sesuai dengan kebutuhan
pertunjukannya. Hingga akhirnya dia mendapatkan informasi tentang Gua Tabuhan
yang ada di Pacitan.
Dari refleksinya atas relasi manusia, teknologi, dan alam
tersebut, Nilu mencoba menciptakan inovasi untuk mementaskan sebuah presentasi
bunyi dengan cara-cara yang tidak merusak alam. Presentasi bunyi ini tidak
hanya soal musik-musik yang harmonis, tapi juga bunyi-bunyi yang disharmonis
seperti yang dihasilkan alam.
Nilu mengerjakan gagasannya dengan menjadikan Gua Tabuhan
sebagai instrumen musik dalam proyeknya. Dalam pertunjukannya nanti, Nilu juga
tidak akan memakai pengeras suara atau loadspeaker. Tujuannya, supaya audiens
benar-benar mendengar orisinalitas bunyi-bunyi yang dihasilkan dari elemen
alam.
Alasan lain Nilu tak memakai instrumen-instrumen modern
dalam proyek ini karena dia menilai modernisme sangat berdampak bagi
keberlanjutan kehidupan manusia. Yang paling sederhana, misalnya, kabel. Untuk
membuat kabel dibutuhkan tembaga, sementara untuk mendapatkan tembaga maka
harus ada pertambangan. Itu hanya satu elemen kecil yang wajib dipakai dalam
instrumen-instrumen modern.
Dari refleksinya atas relasi manusia, teknologi, dan alam
tersebut, Nilu mencoba menciptakan inovasi untuk mementaskan sebuah presentasi
bunyi dengan cara-cara yang tidak merusak alam. Presentasi bunyi ini tidak
hanya soal musik-musik yang harmonis, tapi juga bunyi-bunyi yang disharmonis
seperti yang dihasilkan alam.
Nilu mengerjakan gagasannya dengan menjadikan Gua Tabuhan
sebagai instrumen musik dalam proyeknya. Dalam pertunjukannya nanti, Nilu juga
tidak akan memakai pengeras suara atau loadspeaker. Tujuannya, supaya audiens
benar-benar mendengar orisinalitas bunyi-bunyi yang dihasilkan dari elemen
alam.
Alasan lain Nilu tak memakai instrumen-instrumen modern
dalam proyek ini karena dia menilai modernisme sangat berdampak bagi
keberlanjutan kehidupan manusia. Yang paling sederhana, misalnya, kabel. Untuk
membuat kabel dibutuhkan tembaga, sementara untuk mendapatkan tembaga maka
harus ada pertambangan. Itu hanya satu elemen kecil yang wajib dipakai dalam
instrumen-instrumen modern.
Pertama melihat, mendengar, dan merasakan suasana di Gua
Tabuhan, Nilu langsung jatuh cinta. Menurutnya, arsitektur dan akustik Gua
Tabuhan sangat indah. Di sana, dia mendapat pengalaman bunyi dan visual
sekaligus.
“Misalnya arsitektural stalaktitnya itu gila banget.
Warnanya, terus dinamikanya, bahkan suhunya, karena semakin dalam kan semakin
dingin,” katanya.
Dunia modern memiliki amfiteater, tempat di mana masyarakat
urban bisa mendapatkan fenomena akustik di ruang terbuka bersama alam. Dunia
tradisional, sebenarnya malah memiliki teknologi akustik purba yang sudah
disediakan oleh alam tanpa intervensi manusia.
“Dan di sini, manusia diajak berkolaborasi, tidak hanya
mengintervensi,” jawab Nilu kenapa kita harus datang ke pertunjukannya
pertengahan tahun depan. Satu lagi yang membuat Tabuhan Project sangat sayang
dilewatkan adalah komposisi musiknya sangat spesifik. Artinya, komposisi
musiknya bukanlah komposisi tunggal untuk dimainkan ulang di banyak tempat.
Alih-alih, karya yang akan ditampilkan akan mengikuti ruang yang ada, sesuai
site spesifik Gua Tabuhan.