Hasan Ali Mengangkat Musik Tradisional Ternate

Hasan Ali Mengangkat Musik Tradisional Ternate – Kecintaan terhadap identitas lokal membuatnya menekuni dunia musik tradisional. Ia lahir di lingkungan anak-anak yang hobi bermain sepak bola, namun ia lebih tertarik belajar musik.

Saat temannya pergi bermain bola, ia malah lebih memilih pergi ke salah satu rumah tetangga yang beragama Nasrani, hanya untuk mendengarkan musik yang mereka mainkan selama proses ibadah. www.americannamedaycalendar.com

“Waktu kecil, saya lebih suka ke rumah Pak Misi, beliau Nasrani, guru di SMEA Ternate. Jadi saya senang nonton mereka main musik,” Kata Hasan Ali, ditemui di Benteng Oranje saat sedang melatih anak-anak menggunakan alat musik tradisional. http://www.shortqtsyndrome.org/

Hasan Ali Mengangkat Musik Tradisional Ternate

Hasan bilang, Pak Misi melihatnya selalu hadir saat ibadah berlangsung. “Karena beliau, Pak Misi, tahu saya senang musik, dia pun bersedia mengajarkan saya bernyanyi, bahkan (mengajak) ikut bergabung,” kata Atadengkofia, sapaan akrab Hasan Ali.

Saat SMA, ia menjadi bagian dari kelompok paduan suara gereja. Ia bahkan mewakili Maluku Utara dalam PESPARAWI, akronim dari Pesta Paduan Suara Gerejawi. Ia bersama dengan tiga temannya yang juga muslim turut berpartisipasi dalam acara yang dihelat di Ambon waktu itu.

Waktu sampai di lokasi sanggar, saya sempat kebingunan mencarinya. Pesan pendek yang dikirim tak kunjung pula dibaca.

Tak lama, seorang pria berjalan menuju ke arah saya. Mengenakan celana jeans dan kaos hitam bertuliskan “Mati, sudah punya bekal apa?”, saya langsung mengenalnya. Ia begitu khas dengan peci hitam yang selalu terpasang di kepalanya. Di peci itu tertempel sebuah asesoris berbentuk nada.

Di sebuah ruangan di dalam kompleks Benteng Oranje itu, Atadengkofia berkisah banyak hal. Tentang awal mula ia mengenal musik, pengalamannya bertahun-tahun menjadi pengamen di ibu kota, hingga soal spiritual dan politik.

Darah seninya mengalir dari kedua orang tuanya. Sang ibunda adalah sosok yang sering kali terlibat dalam acara-acara seni kesultanan, sedangkan bapaknya adalah seorang guru mengaji.

“Bapak saya itu guru pertama Tasbaq (taman baca Alquran), waktu itu murid-muridnya termasuk Haji Bur (Wali Kota Ternate),” katanya.

Ia mengaku memperoleh bakat suara merdu dari sang bapak.

“Mengaji itu menuntut suara merdu, jadi itu yang berpengaruh pada saya,”Ungkapnya.

Walau begitu, tidak lantas kegemarannya pada musik bisa berjalan mulus. Untuk berlatih memainkan alat musik, ia mesti menunggu rumah sunyi, karena dilarang oleh bapaknya.

Adalah Amat, seorang tetangga yang setiap hari kerjanya mengurus kebun, yang menjadi guru musik pertamanya. Tiap kali Amat pergi ke kebun, ia selalu menawarkan diri untuk turut menemani. Sejujurnya itu hanya alibi semata, dengan menemani Amat di kebun, ia bisa memintanya mengajarkan bermain gitar.

Hasan Ali Mengangkat Musik Tradisional Ternate

Tidak seperti kebanyakan orang yang memilih gitar sebagai instrumen, Atadengkofia lebih memilih Jug (ukulele), gambus, dan suling sebagai alat musik yang didalaminya.

“Saya ingin berbeda dari orang-orang. Kalau kebanyakan orang kan kurang memandang alat-alat seperti Jug, suling atau gambus, nah saya lebih suka yang seperti itu. Jadi saya suka alat-alat yang minoritas,” kata Atadengkofia.

Mengamen di Ibu Kota Jakarta

Tahun 1998, kala Indonesia sedang bergemuruh oleh reformasi, ia berangkat ke ibu kota untuk melanjutkan kuliah. Sedikit melenceng, di Jakarta ia memilih jurusan hukum. Tapi memang dasarnya pemusik, pada tahun kedua ia mulai turun ke jalan untuk mengamen. Selain hobi, mengamen adalah jalan keluar paling masuk akal untuk urusan perut.

Blok M menjadi lahannya untuk mencari rupiah kala itu. Kopaja, Metro Mini, sampai bus-bus ber-AC, semua ia jajal. Dari situlah, ia sempat mengenal dunia obat terlarang.

Ia mengakui, bagi seorang pekerja seni, terlebih seorang pemusik jalanan, akan selalu berhadapan dengan hal-hal seperti itu. Namun sekarang, ia menyesalinya dan berusaha untuk menanamkan prinsip kepada setiap muridnya untuk menjauhi dunia obat terlarang.

Tahun 1998, kala Indonesia sedang bergemuruh oleh reformasi, ia berangkat ke ibu kota untuk melanjutkan kuliah. Sedikit melenceng, di Jakarta ia memilih jurusan hukum. Tapi memang dasarnya pemusik, pada tahun kedua ia mulai turun ke jalan untuk mengamen. Selain hobi, mengamen adalah jalan keluar paling masuk akal untuk urusan perut.

Blok M menjadi lahannya untuk mencari rupiah kala itu. Kopaja, Metro Mini, sampai bus-bus ber-AC, semua ia jajal. Dari situlah, ia sempat mengenal dunia obat terlarang.

Ia mengakui, bagi seorang pekerja seni, terlebih seorang pemusik jalanan, akan selalu berhadapan dengan hal-hal seperti itu. Namun sekarang, ia menyesalinya dan berusaha untuk menanamkan prinsip kepada setiap muridnya untuk menjauhi dunia obat terlarang.

Menurutnya, kekayaan musik di Maluku Utara perlu dikenalkan pada khalayak. Maluku Utara memiliki 34 bahasa yang berbeda, begitu pula dengan ciri musiknya. “Kita bicara satu genre saja dulu, togal misalnya. Di Makeang, ciri togalnya beda dengan togal di Kayoa, juga di Haltim,” tutur pria yang ramah ini.

Kedekatannya dengan kesultanan membuat ia memiliki tanggung jawab untuk urusan pusaka lisan ini. Ia pernah terlibat dalam sebuah ritual pemotongan rambut mahkota sultan.

Menurutnya, alat musik khas di Maluku Utara ini hanyalah jenis alat musik pukul. Selain itu adalah hasil perpaduan dari bangsa luar, seperti gambus atau suling. Untuk gambus, ia meyakini bahwa di dunia ini cara memainkan gambus dengan teknik kuno hanya terdapat dua tempat, yakni Iran dan Indonesia (Ternate).

Hal ini ia buktikan dari pengalamannya bertemu dengan seorang peneliti musik. Ketika itu, ia diminta memainkan gambus. Setelah dimainkan, si peneliti kaget dan berkata padanya bahwa teknik yang ia mainkan adalah teknik kuno. “Yang kuno itu petikannya satu-satu, tidak digenjreng berbarengan,” jelasnya.

Baginya, musik bukanlah soal hiburan semata, ia bisa bertindak dalam hal spiritualisme. Menurutnya, ketika memainkan dan/atau mendengarkan musik, seseorang kadang berada dalam tingkat ekstase. “Ayat-ayat Alquran yang dilagukan oleh Nabi Daud itu membuat daun jatuh tidak menyentuh tanah,” katanya.

“Selain itu, musik juga bisa menghancurkan. Sangkakala yang ditiup di akhir jaman itu adalah musik,” imbuhnya.

Sanggar Timur Jauh

Sangar Timur Jauh adalah anak ideologisnya. Didirikan pada April 2012 tanpa bantuan pemerintah, misi edukasi sebagai wadah menjaga kearifan, nilai-nilai kebudayaan itu. Alat-alat musik yang dipakai ia beli dengan uang pribadinya. Nama Timur Jauh sendiri ia ambil dari sebuah langgam di dalam sastra lisan Ternate “dolobololo”.

“Ada kalimat toma wange bala, algafllun, ma temo gaku gam, yang artinya, di negeri matahari terbit, Timur Jauh, yang terlupakan, namanya Gapi,” kisahnya. Nama itu kemudian setujui oleh para tetua itu kemudian dipakai sebagai nama sanggarnya.

Sampai saat ini, Sanggar Timur Jauh sudah memilki anggota sekitar 500 orang. Menariknya, selain memainkan musik tradisional, Sanggar Timur Jauh juga memiliki kelas musik klasik yang dilakukan setiap Sabtu dan Minggu sore.

Saat ini, ia dan pengurus sangar tengah sibuk mempersiapkan keberangkatan Sanggar Timur Jauh dalam perhelatan musik Karawitan di Tanah Jawa.

Ia kerap kali membantu sekolah-sekolah dalam hal pengajaran seni musik tradisional. Mimpinya selama bergelut dalam dunia musik tradisional sudah terwujud setelah menyaksikan bahwa anak muda Ternate masih memiliki minat pada musik moyangnya.

Sewaktu saya tanya tentang mimpi yang belum terwujud, ia menjawab ingin membuat sekolah musik.

Membawa Nama Maluku Utara ke Kancah Nasional.

Sebelumnya pada tahun 2014, Sanggar Timur Jauh mewakili Ternate dan Maluku Utara pada event nasional yang digelar Kemendikbud. Mereka mengikuti kegiatan Tradisi Permainan Anak usia 8-11 Tahun.

Tahun 2015, mereka mengikuti Festival Musik Tradisional Anak. Pada 2016, mereka mengikuti Festival Musik Karawitan Tingkat SMA dan pada 2017, mereka berpartisipasi dalam lomba Festival Seni Siswa Nasional tingkat SMP. Pada tahun 2018, mereka mengikuti seleksi Gelar Tari Anak Indonesia (usia 8-12 tahun) oleh Kemendikbud.

“Awalnya mengirim video untuk diseleksi. Alhamdulillah kami lolos mewakili Maluku Utara,” kata Ata.

Sanggar Timur Jauh pun menghantar 10 anggota mereka yang terdiri dari lima personel penari dan lima personel pemusik.

Mereka tampil di Taman Mini Indonesia Indah bersama anak-anak lain dari 26 provinsi lainnya. Alhasil, anak-anak Maluku Utara personel Sanggar Timur Jauh meraih piagam penghargaan penari terbaik.